Tweet
Banyak curahan perhatian, dana, upaya penelitian, dan pengadaan sarana pertanian untuk mensukseskan aneka revolusi monokultural, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya pengembangan pangan lokal biasanya tidak tersedia dukungan politik yang memadai untuk mendukung. Dengan kata lain, seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang pertanian diarahkan pada pertanian intensif dan monokultur. Misalnya pada paket kredit petani.
Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani. Hal ini terjadi karena pembangunan pertanian gagal dikaitkan dengan pengembangan kesejahteraan petani melalui pembangunan desa yang rata dan adil. Petani hampir tidak pernah mendapatkan pelayanan informasi mengenai pasar, iklim, dan hasil-hasil penelitian yang bisa mereka terapkan, termasuk mengenai teknologi tepat guna yang bisa memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Akibatnya, citra petani sebagai golongan miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultan dari kegagalan pembangunan dalam mengangkat tingkat ekonomi sosial petani. Lebih jauh dari itu, kini semakin sedikit generasi muda yang mau jadi petani, terutama di kawasan industri di Jawa dan Bali karena sektor pertanian dipandang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup.
Sebagai upaya untuk mendekatkan teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru yang spesifik lokal berdasarkan permasalahan yang dialami petani. Teknik pertanian yang merupakan pengembangan dari pengetahuan tentang proses ekologis adalah Sistem Intensifikasi Padi (system of rice-SRI) “teori evolusi siklikal”. Sistem ini dikembangkan di Madagaskar lebih dari 20 tahun yang lalu dan segera diterima oleh petani di banyak negara, termasuk Indonesia. Teknik yang digunakan dalam SRI adalah dengan memperlebar jarak tanam shingga penyerapan unsur hara oleh akar merata kepada seluruh tanaman. Pada tahun 2004, dimana secara internasional dan nasional dideklarasikan sebagai tahun beras, semakin banyak petani kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolusioner dalam bercocok tanam padi.
Analisis bacaan 1
Aktivitas penggalian pengetahuan ekologi masyarakat petani di desa khususnya di kalangan orang Biboki di desa Tautpah ini memiliki implikasi positif dan strategis terhadap pemeliharaan lingkungan hidup. Biboki sebagai bagian dari pulau timor sekarang ini tampak kering dan gersang dengan didominasi olah padang rumput yang luas atau sering disebut sebagai padang sabana. Adaptasi yang berlebihan dalam arti penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan dapat berakibat maladaptif. Artinya, campur tangan manusia dapat memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi.
Sebagai masyarakat yang komposisinya didominasi oleh orang-orang yang bermata pencaharian petani, maka core culture orang Biboki pun berkisar pada sub budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian sawah maupun ladang. Salah satu kekhasan pertanian orang biboki adalah perladangan berpindah, suatu gaya bertani yang masih khas orang di wilayah tropis. Pertanian dengan sistem ladang berpindah ini satu pihak merupakan suatu bentuk kearifan ekologis dan adaptasi karena secara tidak langsung membantu proses pemulihan kesuburan tanah “perubahan evolisioner”.
Ladang berpindah, yang diharapkan dapat berfungsi mengembalikan kesuburan tanah, tidak lagi menjadi faktor yang mempertahankan keseimbangan ekologi. Keuntungan yang diperoleh dari gaya bertani ini lebih besar, sementara alam dan lingkungan menderita kerugian. Kearifan ekologi artinya sebagai tindakan masyarakat Biboki dalam upaya melangsungkan kehidupannya, yang selaras dengan lingkungan tanah kering yang mereka kenal. Kearifan ekologi dikaji melaui aspek pengetahuan mengenai ekologi secara ilmiah dan sistematis “teori evolusi unilinier”.
Orang biboki memiliki pengetahuan mengenai tubuh manusia “cultural lag”, termasuk di dalamnya sifat dan perilaku biakya ( sesamanya). Selain itu orang biboki memilik pengetahuan menganai tanah yang layak dan yang tidak layak untuk dijadikan lahan pertanian. Orang Bioki juga masih memegang teguh kebenaran-kebenaran yang dikisahkan turun menurun melalui mitos-mitos. Kearifan ekologi orang Biboki juga tercermin dalam perhatian seksama mereka terhadap sejumlah pantangan seperti snae, bunuk, dan nuni.
Studi etnoekologis mengenai sistem pertanian perladangan untuk menuak kearifan orang Biboki memberikan sejumlah informasi, yaitu : kenyataannya bahwa lingkungan alam seperti tanah, hutan, dan air perlu dijaga agar tetap memberikan hasil yang memadai setiap kali diolah. Orang Biboki memiliki pola perilaku yang berbeda, karena mereka memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemerintah mengenai lingkungan.
Analisis bacaan 2
Cara adaptasi kegiatan pertanian masyarakat Biboki sebelumnya telah memenuhi ciri pemahaman ekologis yaitu dalam sistem pertanian mereka. Dengan sistem peladangan berpindah diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena sebelum tanah kembali pulih sudah digunakan lagi untuk berkadang. Sehingga pada akhirnya malah mengakibatkan kondisi tanah rusak dan berpengaruh pada lingkungan ekologi sekitarnya.
Analisis Pola Adaptasi Ekologi
Bahan Bacaan Modul Bacaan Praktikum Sosiologi Umum Bab 10
Perubahan Ekologi Pertanian : dari Revolusi Hijau ke System of Rice Intensification
Oleh : Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo
Manfaat Kearifan Ekologi Terhadap Pelestarian
Lingkungan Hidup
Oleh : Yohanes Gabriel Amsikan
BACAAN 1
Revolusi Hijau merupakan program yang mengintensifikasikan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia, serta jaringan irigasi “perubahan revolusioner”. Namun yang menjadi fokus utama adalah tanaman padi. Selain itu ada tanaman jagung dan palawija. “Fungsional integration” Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan berbagai masalah, yakni dari aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan budaya. Hal ini mengakibatkan berbagai kerentanan di sektor pertanian. Revolusi Hijau juga terjadi di bidang perikanan, yakni Revolusi Biru dimana sektor pertambakan udang di Indonesia mengalami intensifikasi dan monokulturisme. Ada dua hal mengenai intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertama, penggunaan pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor pertanian membuat pertanian rentan “William Ogburn (1930) cultural lag”.
Banyak curahan perhatian, dana, upaya penelitian, dan pengadaan sarana pertanian untuk mensukseskan aneka revolusi monokultural, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya pengembangan pangan lokal biasanya tidak tersedia dukungan politik yang memadai untuk mendukung. Dengan kata lain, seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang pertanian diarahkan pada pertanian intensif dan monokultur. Misalnya pada paket kredit petani.
Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani. Hal ini terjadi karena pembangunan pertanian gagal dikaitkan dengan pengembangan kesejahteraan petani melalui pembangunan desa yang rata dan adil. Petani hampir tidak pernah mendapatkan pelayanan informasi mengenai pasar, iklim, dan hasil-hasil penelitian yang bisa mereka terapkan, termasuk mengenai teknologi tepat guna yang bisa memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Akibatnya, citra petani sebagai golongan miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultan dari kegagalan pembangunan dalam mengangkat tingkat ekonomi sosial petani. Lebih jauh dari itu, kini semakin sedikit generasi muda yang mau jadi petani, terutama di kawasan industri di Jawa dan Bali karena sektor pertanian dipandang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup.
Sebagai upaya untuk mendekatkan teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru yang spesifik lokal berdasarkan permasalahan yang dialami petani. Teknik pertanian yang merupakan pengembangan dari pengetahuan tentang proses ekologis adalah Sistem Intensifikasi Padi (system of rice-SRI) “teori evolusi siklikal”. Sistem ini dikembangkan di Madagaskar lebih dari 20 tahun yang lalu dan segera diterima oleh petani di banyak negara, termasuk Indonesia. Teknik yang digunakan dalam SRI adalah dengan memperlebar jarak tanam shingga penyerapan unsur hara oleh akar merata kepada seluruh tanaman. Pada tahun 2004, dimana secara internasional dan nasional dideklarasikan sebagai tahun beras, semakin banyak petani kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolusioner dalam bercocok tanam padi.
Analisis bacaan 1
Unsur-unsur kebudayaan yang merupakan hasil adaptasi petani/masyarakat dengan kondisi ekologi disekitarnya :
ü Sistem teknologi : adanya program revolusi hijau dan program intensifikasi dan monokulturisme pertanian pangan, serta teknologi-teknologi pertanian lainnya.
ü Organisasi sosial : munculnya organisasi-organisasi sosial yang memfasilitasi kelompok-kelompok tani atau desa-desa.
ü Sistem pengetahuan : kebijakan-kebijakan mengenai sistem pertanian yang dikeluarkan pemerintah membuat petani lebih mengetahui tentang sistem pertanian yang berkelanjutan.
Sistem pertanian pangan yang adaptif dan dengan kondisi ekologi disekitarnya adalah system rice of intensification (SRI) karena dalam sistem ini terjadi penghematan air sampai 50%, penggunaan pupuk dan pestisida kimia juga lebih sedikit, dan diganti dengan penggunaan pupuk kandang. Dengan demikian metode ini memberi keuntungan bagi lingkungan hidup melalui perbaikan mutu tanah. Selain itu juga menguntungkan bagi petani karena memberikan hasil produksi yang lebih banyak.
Sistem pertanian pangan yang adaptif dan dengan kondisi ekologi disekitarnya adalah system rice of intensification (SRI) karena dalam sistem ini terjadi penghematan air sampai 50%, penggunaan pupuk dan pestisida kimia juga lebih sedikit, dan diganti dengan penggunaan pupuk kandang. Dengan demikian metode ini memberi keuntungan bagi lingkungan hidup melalui perbaikan mutu tanah. Selain itu juga menguntungkan bagi petani karena memberikan hasil produksi yang lebih banyak.
BACAAN 2
Wilayah Biboki merupakan daerah sabana, yakni padang rumput yang luas diselingi belukar yang tidak begitu lebat. Menyusul munculnya padang sabana, maka perlahan-lahan dikembangkan pola pertanian baru, yakni perladangan dengan cara na’fot i (balik tanah) dengan peralatan tradisional, seperti suan (tugal) dan kannu (linggis).
Aktivitas penggalian pengetahuan ekologi masyarakat petani di desa khususnya di kalangan orang Biboki di desa Tautpah ini memiliki implikasi positif dan strategis terhadap pemeliharaan lingkungan hidup. Biboki sebagai bagian dari pulau timor sekarang ini tampak kering dan gersang dengan didominasi olah padang rumput yang luas atau sering disebut sebagai padang sabana. Adaptasi yang berlebihan dalam arti penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan dapat berakibat maladaptif. Artinya, campur tangan manusia dapat memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi.
Sebagai masyarakat yang komposisinya didominasi oleh orang-orang yang bermata pencaharian petani, maka core culture orang Biboki pun berkisar pada sub budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian sawah maupun ladang. Salah satu kekhasan pertanian orang biboki adalah perladangan berpindah, suatu gaya bertani yang masih khas orang di wilayah tropis. Pertanian dengan sistem ladang berpindah ini satu pihak merupakan suatu bentuk kearifan ekologis dan adaptasi karena secara tidak langsung membantu proses pemulihan kesuburan tanah “perubahan evolisioner”.
Ladang berpindah, yang diharapkan dapat berfungsi mengembalikan kesuburan tanah, tidak lagi menjadi faktor yang mempertahankan keseimbangan ekologi. Keuntungan yang diperoleh dari gaya bertani ini lebih besar, sementara alam dan lingkungan menderita kerugian. Kearifan ekologi artinya sebagai tindakan masyarakat Biboki dalam upaya melangsungkan kehidupannya, yang selaras dengan lingkungan tanah kering yang mereka kenal. Kearifan ekologi dikaji melaui aspek pengetahuan mengenai ekologi secara ilmiah dan sistematis “teori evolusi unilinier”.
Orang biboki memiliki pengetahuan mengenai tubuh manusia “cultural lag”, termasuk di dalamnya sifat dan perilaku biakya ( sesamanya). Selain itu orang biboki memilik pengetahuan menganai tanah yang layak dan yang tidak layak untuk dijadikan lahan pertanian. Orang Bioki juga masih memegang teguh kebenaran-kebenaran yang dikisahkan turun menurun melalui mitos-mitos. Kearifan ekologi orang Biboki juga tercermin dalam perhatian seksama mereka terhadap sejumlah pantangan seperti snae, bunuk, dan nuni.
Studi etnoekologis mengenai sistem pertanian perladangan untuk menuak kearifan orang Biboki memberikan sejumlah informasi, yaitu : kenyataannya bahwa lingkungan alam seperti tanah, hutan, dan air perlu dijaga agar tetap memberikan hasil yang memadai setiap kali diolah. Orang Biboki memiliki pola perilaku yang berbeda, karena mereka memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemerintah mengenai lingkungan.
Analisis bacaan 2
Unsur-unsur kebudayaan yang merupakan hasil adaptasi petani/masyarakat dengan kondisi ekologi disekitarnya :
Sistem pengetahuan : masyarakat Biboki mempunyai pengetahuan seputar fenomena alam, lingkungan sekitar, aneka tanaman dan manfaat yang diperoleh dari penanamannya, pelbagai adat dan trdisi serta upacara dalam rangka pemeliharaan lingkungan, termasuk pula teknologi tradisional dalam menggarap lahan pertanian.
Sistem teknologi : munculnya sistem perladangan baru dengan cara na’fot i (balik tanah) dengan menggunakan peralatan sederhana sepeti suan (tugal) dan kannu (linggis).
Cara adaptasi kegiatan pertanian masyarakat Biboki sebelumnya telah memenuhi ciri pemahaman ekologis yaitu dalam sistem pertanian mereka. Dengan sistem peladangan berpindah diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena sebelum tanah kembali pulih sudah digunakan lagi untuk berkadang. Sehingga pada akhirnya malah mengakibatkan kondisi tanah rusak dan berpengaruh pada lingkungan ekologi sekitarnya.
Budaya pertanian masyarakat Biboki mengarah pada pendekatan ekologi budaya karena sebagai masyarakat yang komposisinya didominasi oleh orang-orang bermata pencaharian petani, maka core culture orang Biboki pun berkisar pada sub-budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian sawah maupun ladang.
Komentar akan OTOMATIS DIHAPUS jika memberikan komentar mengandung iklan, link aktif, dan perkataan yang tidak sopan. Terima Kasih ^_^