Analisis Kelembagaan dan Proses Pelembagaan Sosial
Bahan Bacaan Modul Praktikum Sosiologi Umum Bab 4
MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
(oleh Djuhendi Tadjudin)
SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT
(oleh Warner Roell)
Bacaan 1
Dalam era globalisasi ini, pola pengelolaan pada masing-masing sektor kian mengglobal, sebaliknya pengelolaan sumberdaya hutan kian melokal. Saat ini kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan bersifat paradoksal artinya kebijakan yang hanya membela pencapaian target keuntungan produksi namun pencapaian untuk memelihara kelestarian lingkungan tidak efektif, sehingga yang terjadi kerusakan hutan yang mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, dalam praktek pengelolaan hutan saat ini tidak mengherankan banyak terjadinya persengketaan yang terkait dalam masalah hutan alam produksi. Dilihat dari tata nilai yang diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka hutan memiliki nilai yang berbeda, bagi masyarakat, hutan merupakan tempat menggantungkan kehidupan perekonomian, budaya dan spiritualnya. Bagi swasta hutan hanya sebagai komoditas untuk memperoleh keuntungan bagi pemerintah dalam peraturan perundangan kerap digambarkan secara religius sebagai rahmat Tuhan. Ada perbedaan makna mengenai masyarakat sendiri, dunia Internasional percaya bahwa masyarakat mampu mengelola sumberdaya hutan walau tidak bisa dipungkiri ada sebagian masyarakat yang tidak arif dalam mengelolanya. Ketidak-arifn tersebut menghasilkan suatu “tragedy of the common” , suatu bentuk sumberdaya akibat pendayagunaan yang berlebihan.
Sementara itu, pihak swasta dan terkadang pemerintah memandang masyarakat sebagai ancaman terhadap keamanan usahanya. Padahal belum tentu seperti itu, jika kita melihat sejarah pada masa Orde Baru sebagian pengelolaan sumberdaya hutan diserahkan kepada swasta yang bertujuan untuk meningkatkan produksi hutan. Namun pada faktanya dalam kegiatan penguasaan hutan, swasta tidak memperhatikan azas pelestarian lingkungan dan tidak adaptif terhadap kehidupan budaya, kebiasaan, dan tata nilai masyarakat karena memang swasta mengartikan hutan sebagai produk komoditas yang menguntungkan.
Untuk mengatasi kejanggalan ini pemerintah Indonesia khususnya, mencoba untuk mengembangkan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat luas agar pandangan diatas dapat terbantahkan. Model ini dikenal dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKM) yaitu konsep untuk mengakomodasikan:
1). Partisipasi masyarakat lokal seluas-luasnya.
2). Kunggulan pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal karena dalam prakteknya membutuhkan kelembagaan pemerintah (birokrasi) berupa desentralisasi dan devolus.
3). Perubahan paradigma pemerintah dari status custodian menjadi fasilitator.
Dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan konsep ini menghasilkan manajemen yang unik dan bersifat kolaboratif. Konsep ini merupakan sebuah keharusan karena akan menciptakan keseimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumberdaya hutan alam produksi. Dalam hal ini masyarakat sebagai pelaku yang mendayagunakan dan memelihara sumberdaya, sedangkan pemerintah memfasilitasi. Dan ternyata konsep ini efektif untuk dilaksanakan karena tidak mengabaikan tujuan-tujuan pelestarian hutan.
Bacaan 2
Artikel ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan tahun 1969 di daerah Klaten, Jawa Tengah. Di Jawa sistem bagi hasil merupakan elemen penting dalam kehidupan pertanian meskipun dalam Undang-Undang Agraria tahun 1960 mengharuskan petani untuk mengolah sendiri tanah pertanian tanpa membagi hasil panen dengan yang lain.
Menurut data statistik di daerah penelitian ini termasuk daerah yang padat penduduknya akibatnya cadangan tanah pertanian semakin tidak ada, maka lapisan penduduk pertanian yang tidak memiliki tanah terus meningkat. Dari sinilah sistem bagi hasil di daerah Klaten semakin menyebar. Faktor lain seperti teknik produksi yang sedehana, tidak ada mekanisasi, kurangnya modal penduduk, dan terutama kurangnya kesempatan dalam bidang non pertanian (industri). Walaupun di Klaten ada beberapa pabrik industri namun ini tidak cukup memberikan peluang kesempatan kerja. Faktor-faktor tersebut semakin menyebar luaskan sistem bagi hasil yang masih dipakai di daerah Jawa. Adapun bentuk-bentuk dasar sistem bagi hasil yang dipergunakan di daerah penelitian diantaranya:
1). Sistem Maro (garap separuh atau bagi separuh)
2). Sistem Mertelu (bagi tiga garapan, bagi tiga hasil)
3). Sistem Mrapat (bagi empat garapan, bagi empat hasil)
Bentuk sistem diatas biasa digunakan dalam bersawah dan sistem yang paling umum dipakai di daerah yang diteliti adalah sistem maro.
Sebenarnya sistem bagi hasil ini berasal dari hukum pemilikan tanah feodal kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Sistem ini mensyahkan hak pemilikan kaum tanah dan lahan bagi kaum bangsawan sedangkan penduduk tidak memiliki hak. Penduduk hanya mengolah tanah dan lahan itu yang kemudian separuh dari hasil panen harus diserahkan pada istana berupa upeti hasil panen tersebut. Sistem ini kemudian berubah dengan masuknya sistem perkebunan Eropa sejak akhir abad ke 18, kewajiban penduduk untuk menyerahkan upeti diganti dengan wajib kerja yang tidak dibayar. Kondisi ini menjadikan penduduk Jawa yang miskin menjadi semakin miskin.
Oleh karena itu, demi perbaikan kepentingan sosial penduduk harus dilakukan penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa. Karena tidak saja merupakan dampak landasan eksistensi penduduk yang tidak mencukupi, melainkan sistem ini ikut mempertahankan kemiskinan. Selain itu, usaha-usaha yang dapat meningkatkan dalam bidang pertanian, bidang politik kependudukan, usaha industrial dan infrastruktur harus terus diupayakan.
Analisis Kelembagaan dan Proses Pelembagaan Sosial
Bacaan 1
1) Menurut Uphof (1992) penggolongan kelembagaan dalam sektor sosial di tingkat lokal dalam bacaan 1 adalah masuk dalam sektor publik karena mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai organisasi mutakhir.
Perbedaanya dengan sektor partisipatori yakni tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi nonpemerintah (Ornop, NGO, LSM) dan lembaga ini aktif berdasarkan tujuan sesuai dengan minat para pendukunya, misalnya dalam bidang kesehatan dsb. Sedangkan sektor swasta adalah yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan dalam bidang jasa, perdagangan dsb.
Persamaanya dengan sektor publik dan sektor swasta yakni himpunan norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dala kehidupan masyarakat.
Sisi Kelembagaan : HKM
Fungsi Kelembagaan : Keputusan Menhut Adat Badui
Ciri Kelembagaan : HPHKM
Penggolongan Kelembagaan : Politik Ekonomi (Koentjaraningrat)
2) Fungsi Kontrol Sosial
Sifat : Represif
Proses : Coersive
Kesimpulan : Deviasi
Bacaan 2
1) Menurut Uphof (1992) penggolongan kelembagaan dalam sektor sosial di tingkat lokal dalam bacaan 1 adalah masuk dalam sektor partisipatori karena tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi nonpemerintah (Ornop, NGO, LSM) dan lembaga ini aktif berdasarkan tujuan sesuai dengan minat para pendukunya, isalnya dalam bidang kesehatan dsb
Sedangkan sektor publik adalah mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai organisasi mutakhir.
Perbedaanya dengan sektor. Sedangkan sektor swasta adalah yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan dalam bidang jasa, perdagangan dsb.
Persamaanya dengan sektor publik dan sektor swasta yakni himpunan norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dala kehidupan masyarakat.
Sisi Kelembagaan : Bagi Hasil
Fungsi Kelembagaan : Patron Clien
Ciri Kelembagaan : Maro, Mertelu, Mrapat
Penggolongan Kelembagaan : Ekonomi (Koentjaraningrat)
2) Kontrol Sosial
Sifat : Prefentif
Proses : Persuasif
Kesimpulan : Konformitas